Jakarta -- Hubungan Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Mesir dengan Qatar tiba-tiba kembali memanas dalam beberapa waktu terakhir. Hal itu tampaknya bermula pada Selasa 22 Mei lalu, dimana sebuah pernyataan palsu yang dikaitkan dengan Emir Qatar, dimuat dengan cepat oleh saluran TV Al-Arabiya, milik Saudi, dan Sky News Arabia milik UEA, serta saluran satelit dan media elektronik Mesir.
Pernyataan palsu tersebut berisi tuduhan sebagai berikut: Satu, hubungan yang memburuk antara Qatar dengan Trump di Washington. Dua, sebuah seruan dari Qatar ke Mesir, UEA dan Bahrain untuk meninjau kembali sikap anti-Qatar mereka. Ketiga, sebuah pernyataan oleh Qatar bahwa Iran mewakili kekuatan regional dan Islam dan kekuatan itu tidak dapat diabaikan.
Meski pernyataan tersebut berasal dari media resmi Qatar News Agency (QNA), para pejabat pemerintah dengan cepat menyangkal keaslian pernyataan tersebut. Mereka mengatakan bahwa situs QNA telah diretas. Meski begitu, media Saudi, UEA dan Mesir mengabaikan tanggapan Qatar dan menganalisis bahwa pernyataan tersebut asli. Pernyataan itu akhirnya terus dimuat dan mendominasi berita serta komentar di media-media tersebut selama berhari-hari.
Serangan terhadap Qatar dan kepala negara pun terus berlanjut, menunjukkan bahwa ketegangan ini telah disepakati pada tingkat yang sangat tinggi di Arab Saudi dan UEA. Terutama karena Pangeran Mahkota Abu Dhabi dan Arab Saudi, Mohammed Bin Zayed dan Mohammed Bin Salman memiliki hubungan erat dengan media-media tersebut.
Ketegangan ini tampaknya disengaja, tapi mengapa sekarang? Dan terjadi hanya dua hari setelah para pemimpin Arab Saudi, UEA, Mesir dan Qatar berkumpul di KTT Arab-Islam-Amerika di Riyadh, dengan Donald Trump dan puluhan pemimpin negara Arab dan Islam lainnya berkumpul. Apakah pertemuan ini terkait dengan ketegangan tersebut?
Jawabannya mungkin dapat diketahui dari laporan surat kabar Inggris, The Guardian, pada hari Kamis. Guardian menunjukkan bahwa Trump tengah menghadapi tekanan di dalam negeri AS (mungkin dipimpin oleh agen pro-Israel) untuk meninjau aliansi Washington dengan Qatar. Qatar disebut telah memberi dukungan kepada Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) dalam melawan pendudukan Israel, serta mendukung Ikhwanul Muslimin (IM).
Dalam konteks ini, Guardian mengutip pernyataan mantan Menteri Pertahanan AS Robert Gates, yang mengkritik dukungan Qatar kepada Hamas dan IM. Masih senada, ketua Komite Urusan Luar Negeri Dewan Perwakilan AS, Ed Royce, juga mengatakan akan mengajukan undang-undang untuk menghukum negara-negara yang mendukung kedua kelompok tersebut. Dalam hal ini yang dimaksud adalah Qatar.
Tekanan yang dihadapi presiden AS di dalam negeri mungkin tercermin dalam pidatonya pada pertemuan para pemimpin di Riyadh, saat dia menyandingkan Hamas dengan ISIS dan Al-Qaidah. Pidato itu memberi peluang kepada Saudi dan UEA untuk melancarkan serangan kepada Qatar, yang memang memendam api dalam sekam.
Trump sendiri seolah juga mendapat peluang untuk meredam tekanan pada pemerintahannya (tanpa campur tangan secara langsung). AS masih mempertimbangkan hubungan dengan Qatar, mengingatkan kepentingannya di negara itu. Terutama karena Qatar menjadi tuan rumah pangkalan Angkatan Udara terbesar Amerika di Timur Tengah.
Ketegangan Arab Saudi dan UEA terhadap Qatar mungkin juga memiliki dimensi lain. Riyadh dan Abu Dhabi mulai khawatir tentang aset-asetnya di Yaman dan Tanduk Afrika, selain dana besar yang dialokasikan Arab Saudi untuk mendukung kebijakan Trump. Di sisi lain, Saudi juga berharap mendapatkan restu presiden AS untuk menaikkan Putra Mahkota Mohammed Bin Salman ke takhta kerajaan. Meski orang-orang AS sendiri lebih menyukai Muhammad bin Nayef untuk memimpin Saudi.
Lebih jauh, ketegangan antara Arab Saudi-UEA-Mesir dan Qatar juga pernah terjadi sebelumnya, yakni ketika Qatar memberi dukungan terhadap Ikhwanul Muslimin pasca naiknya Muhammad Mursi. Saat itu, Riyadh menarik duta besarnya dari Doha, begitu juga UEA. Itulah mengapa sebuah kampanye berita di internet diluncurkan beberapa hari yang lalu oleh situs UEA dan Mesir terhadap Qatar. Ini juga menjadi alasan kenapa pihak berwenang di Riyadh dan Abu Dhabi memutuskan untuk memblokir puluhan situs Qatar, termasuk Al-Jazeera.
Sekali lagi, munculnya ketegangan ini berasal dari tingkat tertinggi di UEA, termasuk dari Menteri Luar Negeri Anwar Gargash dan Wakil Kepala Polisi dan Keamanan Publik di Dubai, Dhahi Khalfan. Para pengamat telah mencatat kekhawatiran UEA dalam beberapa pekan terakhir mengenai tanggapan Qatar terhadap plot “kudeta Aden” (upaya membagi Aden), yang akhirnya direspon oleh media UAE dengan serangan ganas terhadap jaringan Al-Jazeera yang berbasis di Doha.
Meskipun dalam masalah itu posisi Qatar selaras dengan penolakan Arab Saudi, ada pertanyaan lain tentang rekening keuangan swasta Putra Mahkota Saudi, untuk mendukung kemitraan pribadinya dengan UEA. Diketahui, Mohammed Bin Salman telah lama menjalin dukungan dengan UEA untuk memperkuat posisinya di kerajaan.
Beberapa faktor tersebut jika digabungkan mungkin dapat menjelaskan skenario memanasnya hubungan Saudi-UEA terhadap Qatar. Termasuk yang baru saja diputuskan, Arab Saudi dan rekan-rekannya akhirnya memutuskan hubungan diplomatik dengan negara yang memiliki ibukota Doha tersebut.
Sumber ; kiblat.net
Comments
Post a Comment